Bandung – Di era modern dan globalisasi, tradisi dan budaya lokal sering menghadapi resiko terpinggirkan. Urbanisasi, dominasi budaya global, dan perkembangan teknologi dapat melemahkan praktik budaya yang selama ini menjadi identitas masyarakat. Namun, menjaga warisan budaya tetaplah penting karena merupakan fondasi identitas dan nilai-nilai yang mengikat sebuah komunitas.
Dilansir dari Kesekretariatan Negara Republik Indonesia, tantangan terbesar dalam merawat tradisi salah satunya datang dari dominasi bahasa asing dan urbanisasi. Bahasa daerah semakin jarang digunakan—terutama di kota-kota besar—akibat kuatnya arus globalisasi dan migrasi. Akibatnya, generasi muda kian terputus dari akar budaya mereka. Selain itu, gaya hidup modern yang serba cepat sering kali membuat praktik tradisional, seperti upacara adat, kerajinan tangan, maupun seni pertunjukan, terpinggirkan karena dianggap kurang relevan dengan kebutuhan masa kini. Padahal, menjaga tradisi memiliki peran yang krusial. Warisan seperti bahasa daerah, ritual, seni, dan adat istiadat adalah refleksi sejarah dan nilai-nilai masyarakat.
Tradisi bukan hanya memperkuat identitas dan kebanggaan kolektif, tetapi juga menopang aspek sosial dan ekonomi. Banyak kerajinan tradisional, kuliner, maupun seni lokal yang menjadi daya tarik wisata dan sumber penghidupan masyarakat. Pelestarian budaya pada akhirnya tidak hanya tentang menjaga masa lalu, tetapi juga memastikan keberlanjutannya untuk generasi mendatang.
Lauren Valenti dalam artikelnya yang berjudul How Generations of Indonesian Women Are Preserving an Ancient Juicing Tradition menyoroti bahwa pendidikan menjadi pilar penting dalam pelestarian tradisi. Integrasi bahasa daerah dan seni dalam kurikulum, serta dukungan kebijakan publik seperti program gamelan di sekolah atau pengakuan UNESCO, memastikan budaya tetap hidup.
Inisiatif kontemporer seperti Festival Indonesia Menari juga menunjukkan bagaimana tradisi bisa dikemas lebih inklusif dan menarik bagi generasi muda. Komunitas budaya dan lembaga lokal juga berperan besar dalam memastikan kelangsungan tradisi. Contohnya Bentara Budaya Yogyakarta yang memberi ruang bagi seniman tradisional untuk tetap berkarya di tengah arus urbanisasi. Bahkan, praktik sederhana seperti jamu gendong pun terus dipertahankan dan dimodernisasi melalui kemasan baru, promosi media sosial, hingga kendaraan motor sehingga tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat. Upaya ini memperlihatkan bahwa pelestarian budaya dapat berjalan beriringan dengan inovasi.

Merawat tradisi di tengah arus modernisasi bukan berarti menolak perubahan, melainkan mencari keseimbangan antara warisan budaya dan inovasi. Melalui pendidikan, digitalisasi, media kreatif, serta kolaborasi lintas sektor, tradisi bisa tetap hidup dan relevan. Modernisasi seharusnya menjadi jembatan, bukan penghalang untuk memastikan bahwa nilai-nilai budaya tetap hadir dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Referensi:
Kompasiana.com, Setneg.go.id, Hafecs.id, Detik.com, Sejiva.id, Vogue.com, Grafismasakini.com.